17 September 2010
2050, Jakarta Utara Tenggelam
Kondisi Jakarta juga diperparah oleh turunnya permukaan tanah akibat pola pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan. Rata-rata penurunan muka tanah di Jakarta berkisar 0,87 cm per tahun.Keberadaan gedung-gedung pencakar langit yang menghujam tanah Jakarta perlu dikaji ulang.
[JAKARTA] Laju pemanasan global yang berlangsung saat ini mengancam kelestarian sejumlah kawasan di Indonesia. Dalam 100 tahun terakhir suhu permukaan bumi naik satu derajat Celsius, dan mengakibatkan naiknya permukaan air laut di seluruh dunia.
Menurut Kepala Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) Departemen Keluatan dan Perikanan Indroyono Susilo kepada SP, di Jakarta, Sabtu (1/3), fenomena tersebut bisa dilihat dengan semakin tingginya intensitas tumpahan air laut ke darat (rob), termasuk banjir besar yang merendam sebagian wilayah di DKI Jakarta beberapa waktu lalu. Lumpuhnya Bandara Soekarno Hatta, juga tak lepas dari akibat fenomena naiknya muka air laut.
Berdasarkan simulasi yang dilakukan BRKP, pada tahun 2050, sekitar 25 persen wilayah Jakarta Utara (Jakut) akan tenggelam. Kawasan seperti Ancol, Pantai Indah Kapuk, Koja, dan Tanjung Priok hilang dari peta Indonesia.
"Kawasan seluas 160 kilometer persegi atau sekitar 25 persen wilayah Jakarta akan tenggelam secara permanen," ungkap Indroyono.
Secara kasat mata, lanjutnya, tanda-tanda awal tenggelamnya kawasan itu bisa dilihat dari garis pantai di utara kota yang dulu bernama Batavia ini, sudah berubah. Garis pantai mulai masuk ke daratan akibat proses abrasi (pengikisan daratan oleh air laut). Laju kenaikan muka laut rata-rata 0,57 cm per tahun. Kecepatan naik muka air laut di beberapa wilayah utara Jakarta berbeda-beda.
Tetapi, menurut hasil penelitian tim dari Institut Teknologi Bandung, tren yang muncul menunjukkan kenaikan. Pada 1925, kondisi muka laut di Teluk Jakarta tercatat 51,19 cm.
Dalam 25 tahun berikutnya (1950), muka laut bertambah 14,37 cm.
Pada 25 tahun selanjutnya (1975), terjadi kenaikan muka laut 14,38 cm. Jumlah kenaikan muka laut Teluk Jakarta setiap 25 tahun berada di kisaran 14,37 cm, atau rata-rata kenaikan per tahun 8 mm. Berdasarkan asumsi tersebut, pada 2050 diperkirakan muka laut di Teluk Jakarta akan mencapai 123,06 cm (1,23 meter).
Indroyono mengingatkan, hasil riset lembaga penelitian internasional dari badan riset Australia yang menyebutkan kenaikan muka laut yang secara berangsur-angsur menunjukkan tren kenaikan, akan mengancam kelangsungan negara kepulauan.
Dalam penelitian itu disebutkan, pada 2001, Tuvalu, negara kepulauan di Samudera Pasifik, terpaksa mengungsikan 11.000 warganya akibat kenaikan muka laut. Tuvalu terpaksa menandatangani perjanjian dengan Selandia Baru, agar mau menerima warganya yang terpaksa diungsikan.
Kondisi ini tidak terlepas dari peristiwa yang terjadi pada 1995-2002, yakni semenanjung Kutub Selatan kehilangan sandaran es seluas 12.500 kilometer persegi, atau setara empat kali lipat luas wilayah Luksemburg.
Jika masyarakat Jakarta termasuk pemerintah tidak mengambil langkah-langkah positif, misalnya memperbaiki wilayah pesisir dengan menumbuhkan kembali vegetasi bakau, bukan tidak mungkin sebagian warga Jakarta akan menjadi pengungsi cuaca seperti yang dialami warga Tuvalu.
Sementara itu, peneliti dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Armi Susandi mengatakan, kondisi Jakarta juga diperparah oleh turunnya permukaan tanah akibat pola pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan. Rata-rata penurunan muka tanah di Jakarta berkisar 0,87 cm per tahun. Keberadaan gedung-gedung pencakar langit yang menghujam tanah Jakarta perlu dikaji ulang.
Saat ini Jakarta tak ubahnya belantara beton. Berdasarkan penelitian Bloomberg, New York, keberadaan gedung pencakar langit sangat berperan besar dalam meningkatkan emisi karbondioksida (CO2). Setidaknya, 79 persen emisi gas rumah kaca diproduksi wilayah perkotaan. Sedangkan 21 persen emisi karbondioksida dihasilkan dari penggunaan energi dari sektor transportasi massa.
Rehabilitasi Mangrove
Terkait persoalan tersebut, Guru Besar Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Dietriech G Bengen menjelaskan, kondisi Jakarta hanyalah sebagian kecil dari wilayah yang mewakili pesisir di Pulau Jawa. Jika pola pembangunan di seluruh pesisir Jawa tidak mengindahkan lingkungan, seperti dibabatnya vegetasi hutan bakau di sepanjang pantai utara hingga di selatan Jawa, bukan tidak mungkin pada 2050 Pulau Jawa akan "kurus", akibat sebagian wilayah pesisir tenggelam.
"Laju kenaikan muka air laut bisa dihambat dengan merehabilitasi hutan mangrove di seluruh pesisir Jawa," ujar Dietriech.
Hasil kajian BRKP maupun IPB menyebutkan, dalam lima puluh tahun ke depan sebanyak 2.000 pulau akan hilang dari peta Indonesia akibat naiknya permukaan air laut. "Oleh karena itu Indonesia harus mengerahkan segenap kemampuan untuk mencegah bencana lingkungan tersebut," tambah Dietriech. [L-11]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar
hey komentar donk